Bulan April memang sudah berakhir namun tidak ada
salahnya kita mencoba untuk mencari tahu tentang Hari Kartini pada
tanggal 21 April yang sering diperingati oleh warga Indonesia
utamanya kaum hawa. Sebagian dari kita mungkin sempat berfikir dan
bertanya-tanya,
Raden Ajeng Kartini |
“Kenapa
setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini dan kenapa
harus Raden
Ajeng Kartini,
apakah tidak ada perempuan Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan
dan diteladani selain R.A.
Kartini?”
Pertanyaan
kritis seperti ini juga telah sering diungkapkan para sejarawan yang
mengetahui sejarah Indonesia, perkembangan pendidikan dan peran
perempuan Indonesia di masa lalu. Misalnya sejarawan Persi Tiar
Anwar Bahtiar
dan Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar.
Mereka mengkritik pengkultusan R.A.
Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia dan mempertanyakan mengapa harus Kartini
yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia.
Harsja
menunjuk dua sosok perempuan yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Pertama,
Sultanah Seri
Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat
dari Aceh. Kedua,
Siti Aisyah We
Tenriolle dari
Sulawesi Selatan. Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku
Sejarah Setengah
Abad Pergerakan Wanita Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita
Indonesia (Kowani). Padahal dua wanita itu sangat luar biasa.
Sedangkan Kartini
masuk dalam buku tersebut.
Sultanah
Safiatudin
dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa
Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di
masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika
itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin
ar-Raniry, Hamzah Fansuri,
dan Abdur Rauf.
Beliau juga
berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di
daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memonopoli perdagangan timah dan
komoditi lainnya.
Sultanah
memerintah Aceh cukup lama, yaitu antara tahun 1644 sampai dengan
tahun 1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk
laki-laki maupun perempuan.
Siti Aisyah We Tenriolle |
Tokoh perempuan
kedua adalah Siti
Aisyah We Tenriolle.
Perempuan ini
bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam
kesusastraan.
B.F. Matthes,
orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat
manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu
dibuat sendiri oleh We
Tenriolle. Pada
tahun 1908, perempuan
ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern
pertama yang dibuka baik untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan.
Penelusuran Prof.
Harsja W. Bachtiar
terhadap penokohan Kartini
akhirnya menemukan titik terang. R.A.
Kartini
memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai
pendekar kemajuan perempuan pribumi di Indonesia.
Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink
suami istri. Adalah Cristiaan
Snouck Hurgronje,
penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H.
Abendanon,
Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan
perhatian pada Kartini
tiga bersaudara.
Harsja
menulis tentang kisah ini, “Abendanon mengunjungi mereka dan
kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini.
Kartini
berkenalan dengan Hilda
de BooyBoissevain,
istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya,
Kartini
kemudian berkenalan dengan Estella
Zeehandelaar
(Stella),
seorang aktivis gerakan Sociaal
Democratische Arbeiderspartij
(SDAP). Perempuan Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini
pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan
sosialisme.
Tokoh
sosialisme H.H.
van Kol
dan penganjur “Haluan Etika” C.Th.
van Deventer adalah
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar perempuan
Indonesia.
Pada
tahun 1911, lebih dari enam tahun setelah Kartini
wafat (umur 25 tahun), Abendanon
menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door
Duisternis tot Lich.
Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters
of a Javaness Princess.
Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran
(1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda
de Booy-Boissevain
memprakarsai pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
Kartini Fonds,
yang diketuai C.Th.
van Deventer.
Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini,
serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.
Harsja
Bachtriar
kemudian mencatat,
“Orang-orang
Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa
kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak
akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak
menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan,
percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karenanya
guru besar UI tersebut menyimpulkan bahwa kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi perempuan di Indonesia dari orang-orang
Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja
mengimbau agar informasi tentang perempuan Indonesia yang hebat-hebat
dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan dan teladan bagi
banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini.
Beliau menegaskan, “Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal
wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A.
Kartini,
kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada
dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R.A.
Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia
(INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar
Anwar Bahtiar
juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan,
seperti Dewi
Sartika di
Bandung dan
Rohana Kudus di
Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya
memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih
dari yang dilakukan Kartini.
Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip
dari artikel Tiar
Bahtiar.
Dewi
Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan
dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai
tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972)
melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan
Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana
Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia
mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Rohana Kudus |
Kalau Kartini
hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh
melangkah, yaitu mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika
Kartini dikenalkan oleh Abendanon
yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan
idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri
sejak dari Sunting
Melayu (Koto
Gadang, 1912), Wanita
Bergerak
(Padang), Radio
(Padang), dan Cahaya
Sumatera
(Medan). Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus
juga memiliki visi keislaman yang tegas.
Cut Nyak Dien |
Ada pula
Cut Nyak Dien
yang tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Beliau tidak pernah
menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Tengku
Fakinah, selain
ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah
wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan
sesuatu yang aneh.
Jika
melirik kisah-kisah Cut
Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah
Intan,
dan Cutpo
Fatimah
dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada
masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah
wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan
Aceh dari serangan Belanda. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut
Nyak Dien
dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki
Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Cut
Malahayati.
Laksamana Cut Malahayati |
Dengan mengetahui informasi-informasi di atas tentu
kita menjadi bartanya-tanya. Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana
Kudus? Mengapa
bukan Cut Nyak
Dien? Mengapa
Abendanon
memilih Kartini?
Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?
Seperti
diungkapkan oleh Prof.
Harsja W. Bachtiar dan
Tiar Anwar
Bahtiar,
penokohan R.A.
Kartini
tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja
W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama Christian
Snouck
Hurgronje
dalam rangkaian penokohan Kartini
oleh Abendanon.
Padahal, Snouck
adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis
untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu,
Prof.
Naquib al-Attas
sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis
Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan
Nusantara.
Dalam
bukunya, Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
(Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof.
Naquib al-Attas
menulis tentang masalah ini.
“Kecenderungan
ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah
nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck
Hurgronje pada
akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang
menulis selepas Hurgronje
telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di
kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu
masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini
dengan Snouck
Hurgronje?
Dalam
sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon,
Kartini
memang beberapa kali menyebut nama Snouck.
Tampaknya, Kartini
memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang
sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon
tertanggal 18 Februari 1902, Kartini
menulis,
”Salam,
Bidadariku yang manis dan baik! Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu
dengan teman Nyonya Dr.
Snouck Hurgronje,
sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut, ‘Apakah
dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat
dalam undang-undang bangsa Barat?’ Ataukah sebaiknya saya
memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali
mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta
anak perempuannya.”
Melalui bukunya, Snouck
Hurgronje en Islam,
P.SJ. Van
Koningsveld
memaparkan sosok dan kiprah Snouck
Hurgronje dalam
upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti
jejak orientalis Yahudi, Ignaz
Goldziher, yang
menjadi murid para Syaikh
Al-Azhar Kairo,
Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim pada
tahun 1885 dan berganti nama menjadi Abdul
Ghaffar. Dengan
itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan
pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van
Koningsveld,
pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck
dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck
dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti
Hindia Belanda.
Juga ada yang memanggilnya Syaikhul
Islam Jawa.
Padahal Snouck
sendiri menulis tentang Islam, ”Sesungguhnya agama ini meskipun
cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi
tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu
perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk
mengharapkannya.”
Christian Snouck Hurgronje
lahir pada tahun 1857 adalah adviseur
pada Kantor voor
Inlandsche zaken
pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan
nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam
bukunya, Politik
Islam Hindia Belanda
(Jakarta: LP3ES, 1985), Dr.
Aqib Suminto
mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck
Hurgronje
kepada pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu
strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi
melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut
Snouck,
lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari
pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan
mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck
optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional
mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir
melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam
perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi
kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai
pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan
adat.
Aqib Suminto
mengupas beberapa strategi Snouck
Hurgronje
dalam menaklukkan Islam di Indonesia,
“Terhadap
daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck
Hurgronje
tidak merestui dilancarkan Kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia
cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat
mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi
kebudayaan.”
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk
menaklukkan Islam. Pada masa sekarang pun kita dapat melihat strategi
dan taktik tersebut masih banyak digunakan. Bahkan mungkin semakin
canggih.
Saya memposting ini bukan bermaksud untuk tidak menghargai perjuangan R.A. Kartini namun semata-mata untuk membuka mata kita bersama agar lebih terbuka terhadap sejarah, kebenaran dan perjuangan para pejuang lain yang patut kita apresiasi juga. Agar kita lebih paham sejarah dan kebenaran serta mengetahui bahwa pejuang-pejuang perempuan Indonesia sangat banyak jumlahnya.
Mengenai
sosok R.A. Kartini, saya akan membahasnya di postingan berikutnya,
Insya ALLAAH.
Silahkan disimak
dan mohon dikoreksi jika ada kekeliruan. Saya juga berharap pembaca
mau menambhakan jika ada yang kurang. Terima kasih.
“Mereka
berusaha hendak memadamkan nur
(cahaya)
ALLAAH dengan mulut (tipu daya)
mereka, tetapi ALLAAH (justru) menyempurnakan
nur-hidayah NYA (agama Islam) walau
orang-orang kafir membencinya".
(QS.
As-Shaff: 8)
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
(QS.
Al-Israa’: 36)
”Sesungguhnya
ALLAAH tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS.
Ar-Ra'd: 19)
“Orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup
adalah sama dengan orang-orang jahiliyah.”
(Sayyid
Quthb)
[Referensi:
Adian
Husaini-Catatan
Akhir Pekan (CAP),
Harsja
W. Bahtiar-Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita,
Tiar
Anwar Bahtiar-INSISTS-Republika,
Prof.
Naquib al-Attas-Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,
Kartini-Surat-surat
kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya,
P.SJ.
Van Koningsveld-Snouck Hurgronje en Islam,
Dr.
Aqib Suminto-Politik Islam Hindia Belanda]
No comments:
Post a Comment