| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Saturday 16 August 2014

BARACK HUSEIN OBAMA, ZIONISME & MIDDLE EAST


     Sejak Barack Husein Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44, dunia ingin merasakan angin perubahan. Dunia berharap banyak pada Obama, setidaknya dia bisa merealisasikan janji-janjinya saat kampanye yaitu change (perubahan). Obama diharapkan mampu merubah citra AS di mata dunia. Sayangnya harapan itu hanya harapan kosong. AS bukanlah negara demokratis sebagaimana mereka dengungkan. Pemilu di AS hanyalah dagelan politik murahan buatan Zionis Yahudi. Siapapun yang akan menjadi presiden di AS harus mendapat restu Zionis Yahudi, begitupun dengan Barack Obama. Sehingga mengharap pada Obama sama dengan mengharap pada yahudi. Hampir seluruh sepak terjang presiden AS merupakan refleksi kepentingan Zionis Yahudi, presiden hanyalah "wayang" yang dikendalikan oleh Zionis Yahudi.

   Di AS, Zionis Yahudi menanamkan hegemoninya begitu dalam. Seluruh kegiatan politik AS, baik di dalam maupun di luar akan dipantau secara langsung oleh lembaga lobi yahudi yaitu American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Lembaga resmi ini didirikan tahun 1950-an. Kelompok lobi ini dibangun oleh komunitas Yahudi Amerika untuk menjaga kepentingan Negara Yahudi Israel. AIPAC memiliki lima atau enam pelobi resmi di Kongres dengan staf berjumlah 150 orang, dengan dukungan budget tahunan sebesar 15 juta dollar AS. Dana yang antara lain mereka kumpulkan dengan cara memeras diaspora Yahudi yang tinggal di AS. Mereka mengeksploitasi perasaan bersalah para diaspora yang dianggap hidup enak di negeri orang, sementara saudaranya yang tinggal di Israel setiap hari harus berhadapan dengan Intifada atau bom bunuh diri dari kelompok pejuang Palestina.
Selain AIPAC ada juga Conference of Presidents of Major Jewish Organizations (CPMJO). Menurut riset National Journal pada Maret 2005 dan Forbes pada 1997, dalam hal melobi Washington, AIPAC hanya kalah oleh Asosiasi Pensiunan AS. Mereka didukung tokoh-tokoh terkemuka Kristen Evangelis seperti Gary Bauer, Jerry Falwell, Ralph Reed, Pat Robertson yang bernaung di bawah bendera The American Alliance of Jews and Christians (AAJC). Kelompok ini muncul pada Juli 2002 dipimpin Bauer dan Rabi Daniel Lapin. Bahkan dua bulan setelah AAJC berdiri, Dick Armey seorang Kristen Zionis yang merupakan mantan orang kuat di parlemen secara terbuka mengungkapkan, "Prioritas utama saya dalam kebijakan luar negeri adalah melindungi Israel."
 
George Sunderland, nama pena anggota Kongres AS, dalam situsnya www.counterpunch.org menulis lobi Israel di Kongres terus menguat dari tahun ke tahun, pemain utamanya AIPAC. "Bukan cuma karena uang yang mereka berikan (kepada para politikus), mereka juga bisa menghukum secara politis," tulisnya.
Gagalnya senator dari Illinois, Charles Percy, kembali ke Capitol Hill pada 1984 diduga karena lobi AIPAC. Mereka marah gara-gara Percy mendukung penjualan pesawat pengintai Awacs kepada Arab Saudi dan mengkritik Israel. Tom Dine selaku Direktur Eksekutif AIPAC mengisyaratkannya dalam sambutan di Toronto pada tahun yang sama. "Semua orang Yahudi bersatu untuk menyingkirkan Percy, ini pesan bagi para politisi Amerika," katanya.

   Di pemerintahan, lobi Yahudi Zionis menancapkan kukunya dengan membantu biaya kampanye kandidat baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat. Pada tahun 2000 Jerusalem Post melaporkan bahwa Yahudi menyumbang 50% dana kampanye Bill Clinton pada 1996. Pada tahun 2003 Washington Post menghitung ada 60% dari dana kampanye para calon presiden Demokrat berasal dari pengusaha Yahudi. Jimmy Carter pun pernah dibuat keder oleh kelompok lobi. Carter sebenarnya ingin mengangkat George Ball yang kritis terhadap Israel sebagai Menteri Luar Negeri, tapi takut akan lobi Israel dia akhirnya hanya menjadikan Ball wakil Menlu.

  Michael Massing di The New York Review of Book Edisi 8 Juni 2006 menulis bahwa kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert Asher, Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg yang dikenal dengan nama "Gang of Four". Menurut editor di Columbia Journalism Review, keempat pengusaha kaya-raya tersebut tak peduli terhadap mayoritas Yahudi di AS yang cinta damai.

  Selain memenangkan dukungan AS atas konflik Palestina, prestasi terbesar lobi Israel adalah memaksa AS menginvasi Irak. Perang tersebut didorong oleh niat menciptakan situasi lebih aman bagi Israel di Timur Tengah. Demikian fakta yang dipaparkan Philip Zelikow, mantan anggota badan penasihat presiden AS untuk urusan luar negeri. Menurut Zelikow, Irak sebenarnya tak mengancam AS, namun Israel. Bukti lain, tajuk mantan perdana menteri Ehud Barak dan Benjamin Netanyahu di Wall Street Journal yang mendesak pemerintah George W. Bush menindak Irak.

    Kuatnya lobi Israel di AS telah berhasil memaksa AS memberikan bantuan sebesar 3 Milliar Dolar Amerika pertahun kepada Israel, bantuan ini merupakan seperlima bantuan luar negeri AS. "Buku hijau" Badan AS untuk Pembangunan Internasional (USAID) mencatat hingga tahun 2003 total pinjaman dan hibah yang diterima Israel lebih dari US$ 140 miliar atau setara dengan Rp 1.260 triliun – dua kali lipat anggaran Indonesia pada tahun 2006.
Selain soal dana, dukungan AS juga diaplikasikan pada PBB. Tercatat sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2006 sudah ada 66 resolusi PBB yang berhubungan dengan eksistensi Israel di Palestina diveto AS. Ini belum termasuk resolusi setelah tahun tersebut plus resolusi terakhir saat Israel melancarkan agresinya di Gaza, Palestina.
Para pelobi juga menguasai media. "Komentator Timur Tengah (di AS) didominasi oleh orang-orang yang tak mampu mengkritik Israel," kata Eric Alterman, Profesor Inggris di Brooklyn College yang juga komentator media di MSNBC.com (Maret 2002). Dia mensurvei 66 komentator dan hasilnya hanya lima yang berani mengambil posisi proArab!

   Obama sendiri saat kampanye didukung penuh oleh Yahudi. Situs surat kabar Israel Haaretz pernah memuat laporan tentang tokoh-tokoh Yahudi AS yang memainkan peran penting dalam proses pemilu dan kampanye presiden di AS dibawah judul "36 Jews Who Have Shaped the 2008 U.S. Election".
Dari 36 nama tersebut terdapat nama-nama penggalang dana kampanye bagi Obama, diantaranya:
  1. Sheldon Adelson, seorang Republikan, neokonservatif dan seorang 'mega-donor'
  2. Sherry Lansing, seorang penggalang dana dan donatur utama Partai Demokrat, perempuan pertama yang memimpin Paramount Picture, salah satu studio film terkenal di Hollywood
  3. Eli Pariser, pemimpin situs MoveOn.org, situs advokasi online beraliran liberal yang menggalang dana untuk kandidat presiden dari Partai Demokrat
  4. Penny Pritzker, ketua nasional bidang keuangan kampanye Obama, seorang milyader berasal dari keluarga Yahudi yang dikenal kerap menjadi donatur besar
  5. Denise Rich, mantan istri milyader March Rich, seorang penggalang dana terbesar bagi Partai Demokrat
  6. Barbra Streisand, penyanyi terkenal yang menjadi ikon Yahudi-liberal dan penggalang dana bagi Yahudi, mendukung Obama dan berhasil menggalang dana sebesar 25.800 dollar dari kalangan selebritis Hollywood.
Data tersebut telah menjawab semua pertanyaan mengenai besarnya dana kampanye Obama saat itu. Dunia tahu bagaimana kampanye Obama yang menghabiskan jutaan dolar. Semua dana tersebut bukan berasal dari Partai Demokrat atau kantung pribadi Obama, melainkan sebagian dana adalah suntikan dari para donatur Yahudi. Sebagai imbalannya, Obama harus mendukung penuh seluruh kepentingan Yahudi baik di AS, Palestina dan dunia internasional.

   Mengingat begitu kuatnya lobi Yahudi Zionis di AS dan siapapun yang ingin menjadi presiden harus dapat restu Yahudi maka tak heran jika Obama harus meminta restu Yahudi dengan bersembahyang di Tembok Ratapan. Pada masa kampanyenya Obama banyak mengunjungi komunitas Yahudi dan Sinagog. Bahkan jauh-jauh hari sebelum ia mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2006, Obama pernah berkunjung ke Israel dan menengok keluarga Israel yang rumahnya hancur akibat serangan roket Katyusha. Sebulan kemudian ketika pecah perang antara Hizbullaah dengan Israel, Obama dengan tegas mengatakan bahwa Israel berhak membela diri. Hal inilah yang membuat Obama dilirik yahudi ketimbang John McCain (rivalnya).
Kunjungan Obama saat kampanye ke Israel juga dilakukan ke permukiman Sidrot dekat Jalur Gaza yang menjadi sasaran kelompok perjuang perlawanan Palestina sebagai respon atas kejahatan Israel. Obama mengkritik “aksi terorisme” terhadap Israel, menunjuk perlawanan Palestina dan persenjataan Hizbullaah Libanon dan sistem pemerintahan Iran.

    Faktor lain yang membuat publik Yahudi menggantungkan harapannya pada Obama adalah sikap Obama terhadap kelompok pejuang Hamas di Palestina. Obama menolak Israel melakukan perundingan langsung dengan Hamas. Obama menyatakan akan bersikap tegas terhadap Hamas sampai Hamas mau mengakui eksistensi Israel. Obama juga menyalahkan para pemimpin Palestina yang dianggapnya sebagai penyebab penderitaan rakyat Palestina.

    Sebelum Pemilu di AS, Obama tidak mau bertemu dengan Asosiasi Muslim Amerika. Selain suara muslim tidak begitu signifikan, beliau tentu takut dengan tekanan Yahudi. Bagi Obama sendiri  kalau dia punya kedekatan negara Islam, justru itu akan menjadi kredit negatif. Itulah sebabnya dia matian-matian meyakinkan publik AS kalau Husein dalam namanya tidak ada hubungan apapun dengan Islam. Padahal sebenarnya nama tersebut memang berasal dari bahasa arab. Ayah kandung Obama adalah seorang muslim. Maka tidak aneh jika ada nama Husein dan Barack di nama lengkap Obama. Sayangnya ibu Obama adalah seorang Atheis dan kedua orang tua Obama harus berpisah. Seperti kita tahu ibu Obama menikah lagi dengan orang Indonesia dan kemudian mereka sempat tinggal di Jakarta, Obama bahkan sempat bersekolah di SD Menteng.

    Hal yang tak kalah menariknya adalah komposisi orang-orang di belakang Obama. Secara mengejutkan, pasca kemenangannya Obama memilih Rahm Emanuel, seorang mantan tentara Israel pada masa Perang Teluk sebagai Kepala Staff Gedung Putih. Emanuel dikenal sebagai seorang Yahudi garis keras sehingga dijuluki "Rahmbo" oleh lawan-lawan politiknya. Emanuel pula yang menemani Obama saat memberikan pidato pro-Israelnya di hadapan AIPAC sekaligus mengatur pertemuan antara Obama dan jajaran eksekutif AIPAC.
Selain Rahm Emanuel, Obama menunjuk Hillary Clinton – rivalnya saat konvensi - sebagai Menteri Luar Negeri. Seperti kita tahu Hillary adalah mantan ibu negara yang mendukung Israel. Para diplomat tahu bahwa sikap Clinton terhadap Suriah lebih keras dibandingkan Obama dalam kampanyenya. Bahkan ia pernah mengajukan saran pada pemerintah AS untuk memveto resolusi PBB yang dirasa merugikan Israel di Palestina. Tak heran jika Israellah yang paling berbahagia dengan terpilihnya Hillary Clinton sebagai Menlu kabinet Obama. PM interim Israel Ehud Olmert langsung mengucapkan selamat pada Clinton dan mengatakan bahwa Clinton adalah sahabat Israel dan orang-orang Yahudi.
Tak hanya Hillary, Obama juga mengangkat Robert Gates untuk tetap pada posisinya sebagai Menteri Pertahanan AS. Warna pemerintahan George W. Bush yang beraroma Yahudi dengan tindakan terornya tetap jelas terlihat melalui Gates, walaupun mungkin pendekatannya tidak seekstrim Bush.

    Dalam urusan Timur Tengah, sikap pemerintahan Obama sudah jelas yaitu mendukung sepenuhnya Israel. Sebelum resmi menjabat sebagai Menlu, Hillary sudah menyampaikan pandangannya soal Israel. “Mengenai Israel, anda tidak dapat berunding dengan Hamas hingga kelompok itu melepaskan kekerasan, mengakui Israel dan setuju untuk mematuhi perjanjian pada masa lalu. Itu benar-benar bagi saya absolut," Clinton mengatakan pada dengar pendapat pengesahan jabatannya di Senat.
"Itulah sikap pemerintah AS, itulah sikap presiden terpilih," katanya setelah seorang senator memberi kesan bahwa naif dan tidak logis untuk berdiplomasi dengan pemerintah yang menentang Israel.

    Fakta di atas memberikan gambaran pada kita kemana arah pemerintahan Obama yang telah berjalan dua periode ini. Eksistensi Yahudi Zionis di AS dan Palestina akan semakin kuat sekuat dukungan AS.
Amerika akan tetap seperti amerika yang dulu. Secara membabi buta mendukung israel. Dan akan terus memberikan bantuan dana pada israel yang setiap tahunnya sebesar $3 miliar. Negara yang akan terus memveto resolusi PBB yang dianggap mengancam eksistensi israel di palestina.
Pada tahun 1789 Benjamin Franklin pernah mengingatkan bahaya yang akan ditimbulkan oleh Yahudi di kemudian hari jika mereka dibiarkan berada di Amerika. “Di sana ada bahaya besar yang mengancam Amerika. Bahaya itu adalah orang-orang Yahudi. Di bumi manapun orang Yahudi itu berdiam, mereka selalu menurunkan tingkat moral kejujuran dalam dunia komersial. Jika orang-orang yahudi tidak disingkirkan dari amerika dengan kekuatan undang-undang, maka dalam waktu 100 tahun mendatang mereka akan menguasai dan menghancurkan kita dengan mengganti bentuk pemerintah yang telah kita perjuangkan dengan darah, nyawa, harta, dan kemerdekaan pribadi kita”, paparnya.
Sekarang ramalan tersebut telah terbukti sehingga sulit bagi kita mengharapkan Obama menyelesaikan konflik di timur tengah khususnya Palestina secara bijak apalagi yang sifatnya menguntungkan Palestina. Memberikan solusi positif bagi palestina yang sifatnya menguntungkan palestina umumnya dan Pemerintahan Hamas khususnya berarti akan mengancam eksistensi Israel. Dan itu tidak akan pernah dibiarkan oleh lobi-lobi Israel di Washington. Obama harus membayar hutang pada para pendukungnya yang telah mengantarkannya menjadi orang nomor satu AS. Jika tidak, bersiaplah untuk menerima konsekuensinya. Hal seperti ini akan terus berlanjut pada presiden-presiden pasca Obama sampai lobi Yahudi Zionis benar-benar hilang dari AS sebagaimana harapan Benjamin Franklin. So, jangan heran jika di negara lain pun termasuk negara kita juga sudah dicengkeram oleh kekuatan konspirasi Yahudi Zionis.




[Tulisan ini dikutip dari tulisan Supriyadi, S.Si di eramuslim.com, dengan berbagai perubahan/ penyesuain oleh penulis]

No comments:

Post a Comment